Tanpa Mereka Aku Bukan Siapa-Siapa
Baru saja mendengar ’kata’ itu, sekelabut kalimat definisi langsung berterbangan di otakku, beberapa file yang tadinya tersimpan segera muncul ke permukaan.
Baru saja mendengar ’kata’ itu, sekelabut kalimat definisi langsung berterbangan di otakku, beberapa file yang tadinya tersimpan segera muncul ke permukaan.
Sebuah kata yang mempunyai arti lebih dari sekedar bilangan imajiner, setidaknya untuk diriku dan mungkin juga untuk kalian.
Kata itu bisa disebut sebagai sebuah tempat. Tempat yang melindungi dirimu semenjak kau mulai menghembuskan napas ke dunia. Tempat yang merupakan sandaran ketika kau merasa tak mampu untuk dapat berdiri tegak menghadapi badai yang berhembus didekatmu. Sebuah tempat yang akan selalu menerimamu disaat yang lain mencampakkanmu.
Kata itu juga berarti sekumpulan orang yang memiliki hubungan interpersonal secara alamiah dengan dirimu. Mereka mengenalkanmu pada hidup dan arti kehidupan. Mereka menuntunmu untuk bertahan, mengajarkanmu untuk menjalani itu semua mulai dari kau tidak mengetahui apa-apa hingga kau tumbuh dewasa dan mengerti tentang semuanya. Mereka yang selalu mendampingimu. Mereka yang selalu ada untuk memotivasi dirimu agar kau tidak pernah jatuh dan terpuruk. Mereka yang akan selalu menjadi motivasi dirimu untuk bangkit ketika kau mulai tak sanggup menghadapi terpaan yang ada. Mereka yang sudah kodratnya menjadi naungan, pemberi rasa aman dan nyaman bila berada di tengah-tengah mereka meski terkadang harus sesekali terbentuk jurang pemisah namun tetap dapat disatukan karena ikatan yang terbentuk diantara kita.
Yah. Tempat itu, orang-orang
itulah yang disebut dengan ‘Keluarga’.
Tanpanya aku bukanlah siapa-siapa.
Kali ini aku hanya akan membahas tentang keluarga kecilku, yaitu ibu, ayah, adik dan aku.
Ibu, beliau adalah orang yang rela mengorbankan seluruh hidupnya hanya untuk memberi kesempatan kepadaku agar dapat mencicipi keindahan hidup didunia.
Ibu dengan senyuman malaikatnya.
Teringat ketika aku pulang kerumah
membawa hasil ujian yang nilainya bisa dikatakan amat sangat tidak memuaskan
yang membuat emosi ku memuncak hingga membenci diriku sendiri dan berkata betapa bodohnya aku, ibu hanya memberikan
sebuah senyuman malaikatnya dan berkata "Ibu yakin kamu pasti bisa". Semua
gundah yang kurasakan seketika hilang. Aku segera membalas senyuman malaikatnya
dengan mata berkaca-kaca, dan berkata “Demi ibu, aku yakin aku pasti bisa”.
Ibu, dengan senyuman
malaikatmu, kau tidak hanya meredam emosiku, menghapus kegelisahanku, namun kau
juga menjadikan dirimu sebagai motivasi terbesarku untuk meraih impian agar
aku bisa selalu melihat senyumanmu yang
indah.
Ibu, dengan sentuhan lembut dari tangannya.
Teringat ketika aku sakit, kala
itu aku tidak ingin mendapatkan perawatan bahkan pengobatan medis sekalipun, dan
mulai putus asa dengan penyakitku, lalu Ibu datang menghampiriku, duduk disamping tempat aku berbaring, membelai
rambutku dengan lembut, mengecup keningku, entah kekuatan apa yang dihantarkan
dari sentuhan tangannya pada saraf sensoriku, seketika aku merasakan kondisiku
membaik, bahkan sangat baik. Setiap hari
aku ingin merasakan sentuhan hangat dari tanganmu yang lembut.
Ayah. Seseorang yang memiliki
tanggung jawab besar terhadap keluarganya.
Dengan wibawanya beliau
membimbingku mulai dari aku lahir, belajar berjalan dan tidak boleh mengenal
kata putus asa, hingga mengajarkanku hal-hal untuk menjadi lelaki sejati.
Meskipun cara ayah dan ibu dan
menunjukkan kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya berbeda, namun ayah dengan
sikap tegasnya mempunyai rasa yang sangat tulus untuk menyayangi, melindungi
anak-anaknya dari dekat ataupun jauh. Beliau akan memberikan segalanya hanya untuk melihat sebuah senyuman dan
tawa riang dari anak-anaknya. Baginya kebahagiaan anaknya adalah suatu
kewajiban yang harus dipenuhinya, dan dia tidak akan pernah puas untuk melihat
senyuman bahagia itu. Sebaliknya tangisan dari anaknya merupakan pukulan keras
dan irisan tajam bagi mereka. Beliau
hanya ingin mereka bahagia dan kelak dapat melebihi dirinya dimasa yang akan datang.
Adik...
Ketika dirimu baru dilahirkan, aku
melihat sesosok makhluk kecil tengah terbaring dan tertidur nyenyak di keranjang
bayi. Kala itu yang ada dipikiranku hanyalah ‘’betapa kecil, imut, dan lucunya
makhluk ini”.
Hingga kau mulai tumbuh menjadi
balita dan berjalan dengan kedua kaki mungilmu. Teringat saat masa-masa kecil
itu kita bermain bersama, dan aku selalu berusaha untuk melindungi dari sesuatu
apapun yang dapat membuatmu menangis. Namun sesekali aku jugalah yang membuatmu
menangis. Percayalah itu bukan suatu keisengan semata, tapi merupakan bentuk
lain dari wujud rasa sayangku padamu.
Kini kau telah tumbuh menjadi
gadis remaja yang cantik dan menarik. Sebagai kakak laki-lakimu aku
berkewajiban menjaga dan melindungimu dari apapun yang dapat merusak
kebahagiaanmu. Namun kini aku tidak berada di dekatmu, tidak dapat menjagamu dari dekat, karena aku tengah mengejar impianku di negeri orang. Ketika aku jauh, kau seolah-olah tidak pernah
merindukanku, kakak laki-lakimu. Tapi ketika aku pulang kerumah kau selalu ingin
berada didekatku, tak ingin sedetikpun waktu terbuang sia-sia denganku. Meskipun
aku jauh di perantauan, tapi aku akan selalu mengawasi dan melindungimu dari
jauh. Itu janjiku.
Keluargaku, kini aku tidak berada
ditengah-tengah kalian, demi meraih cita-citaku untuk masa depan yang lebih baik, tapi
percayalah aku benar-benar merindukan kalian. Merindukan kehangatan ketika
berada didekat kalian, merindukan kasih sayang yang tulus dari kalian, merindukan
semua kenangan yang telah tersimpan erat didalam ingatanku dan berjanji akan
melakukan yang terbaik agar kalian bangga terhadapku.
No comments:
Post a Comment